Senin, 22 Juni 2009

Garudashiel-09

Originally posted by rubenladen@kaskus.us





TNI AL dan RAN Latihan Bersama



HMAS Manoora (L-52)

SURABAYA - TNI Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Laut Australia (RAN) melakukan latihan bersama di perairan wilayah Indonesia, 16-22 Juni.

Latihan yang diberi sandi "New Horizon Exercise-09" itu dibuka beberapa saat setelah kapal perang Australia HMAS Manoora (L-52) bersandar di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Selasa (16/6) lalu.

Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) Letkol Laut Toni Syaiful mengatakan latihan bersama antarpasukan AL kedua negara bertetangga itu berlangsung pada 16-22 Juni 2009.

Upacara pembukaan latihan itu dilakukan di Kapal perang Republik Indonesia (KRI) Surabaya-591 yang dipimpin Komandan Gugus Tempur Koarmatim Laksamana Pertama TNI RM Harahap.

Dari pihak AL Australia dipimpin Komandan HMAS Manoora (L-52), Letkol Stepen Dryden, dan didampingi beberapa perwira staf yang sejak pagi sudah berada di Dermaga Jamrud Utara.

Menurut Toni, HMAS Manoora (L-52) merupakan kapal perang jenis Landing Platform Amphibious Ship yang panjangnya 159,2 meter, lebar 21,2 meter, dan berbobot 8.534 ton.

"Kapal ini berada di Surabaya untuk melakukan latihan fase pertama di pangkalan yang meliputi communications, enginneering, cargo handling, medical, damage control, boarding VBSS, dan hello operation procedures," katanya.

Selanjutnya HMAS Manoora akan bertolak dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Laut Jawa untuk melakukan latihan fase kedua, yakni manuver di lapangan sebagai penerapan latihan yang telah dilaksanakan di pangkalan sebelumnya.

Pada manuver lapangan ini, menurut Toni, TNI AL dari jajaran Koarmatim mengerahkan kapal dari jenis yang sama dengan kapal perang Australia jenis "Landing Platform Dock", yakni KRI Surabaya-591.

Sementara itu, Komandan Satgas "New Horizon Exercise-09", Kolonel Laut (P) Budi Djatmiko menambahkan latihan bersama itu bertujuan untuk mempererat hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara TNI AL dan AL Australia.

Sekaligus melatih prosedur koordinasi dan kemampuan berorganisasi secara harmonis, memupuk persahabatan, dan meningkatkan profesionalisme masing-masing prajurit.

Sumber : ANTARA

Siasat Memperpanjang Usia Alutsista Tua




Hanya seperempat pesawat TNI yang bisa digunakan. Suku cadang kelas dua pun jadilah.

Helikopter itu terbang membubung, lalu mulai berputar mengelilingi landasan. Suara mesinnya menderu-deru, ditingkahi bunyi baling-baling memotong angin. Mendadak, suara mesin senyap. Dalam hitungan detik, hidung heli menukik turun. Tak lama, sebuah dentuman besar menandai terempasnya helikopter Puma 3306 TNI Angkatan Udara, di Landasan Udara Atang Sendjaja, Bogor, Jumat dua pekan lalu. ”Apinya baru padam setelah 15 menit,” kata Salman, 60 tahun, petani di Bojong yang melihat langsung peristiwa na-has itu.

Kecelakaan itu menambah deretan panjang pesawat, helikopter, dan peralatan tempur Tentara Nasional Indonesia yang rusak saat digunakan dalam latihan militer. Tak sampai seminggu sebelumnya, sebuah helikopter Bolkow BO-105 TNI Angkatan Darat juga jatuh di Pagelaran, Cianjur, Jawa Barat. ”Saat itu cuaca berkabut dan hujan deras,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI-AD, Brigadir Jenderal TNI Christian Zebua.

Prihatin atas serentetan peristiwa kelam itu, Istana lantas bertindak. Awal Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim audit peralatan militer TNI. Tim yang terdiri atas para inspektur jenderal di Departemen Pertahanan dan angkatan-angkatan TNI ini akan mengevaluasi manajemen perawatan peralatan dan pengelolaan anggaran militer. ”Audit diharapkan selesai akhir Juli,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.

Teknisi Berkualitas

LIMA pesawat Hercules C-130 diparkir berjajar di hanggar Skuadron 32, Landasan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. Pesawat angkut andalan TNI ini baru saja melalui proses perawatan berkala. ”Sebelum dan sesudah terbang pun, pesawat menjalani pemeriksaan reguler,” kata kepala penerangan di landasan udara itu, Mayor Wahyudi.

Landasan Udara Abdulrachman Saleh kini ditempati lima pesawat Hercules dan dua pesawat Cassa C 212. Enam pesawat Cassa lainnya serta sejumlah pesawat OV-10 Bronco sudah tidak laik terbang. Semua pesawat di sana hanya bisa digunakan untuk operasi dan latihan militer, serta penanganan bencana alam.

Pesawat yang masih laik terbang menjalani perawatan berkala di skuadron teknik khusus yang ada di pangkalan itu. Jika ada pesawat yang membutuhkan perbaikan berskala menengah sampai besar, penanganan teknis diserahkan ke unit depo pemeliharaan, yang lokasinya sekitar 1 kilometer dari skuadron. Depo ini ada di bawah Komando Pemeliharaan Material TNI Angkatan Udara.


Sebagian besar teknisi di Koharmatau mendapatkan lisensi pendidikan luar negeri

Depo ini memiliki beberapa unit khusus. Ada yang menangani mesin pesawat Cassa, Hercules, dan Hawk saja. Ada unit yang hanya merawat aspek kelistrikan dan alat penerbangan. Dan ada bagian yang fokus merawat rangka dan bodi pesawat. Semua teknisi diseleksi ketat. ”Mereka punya lisensi, dan dilatih secara berkelanjutan dan berjenjang,” kata Wahyudi. Tak hanya itu, para staf perawatan alat militer ini juga disumpah untuk serius mengerjakan tugasnya.

Kondisi di Landasan Udara TNI-AU Atang Sendjaja, Bogor, Jawa Barat tak jauh beda. Landasan ini memiliki skuadron teknik khusus yang menangani perawatan peralatan militer. Skuadron itu dibentuk pada September 1966 dan bertanggung jawab atas perawatan belasan helikopter Super Puma yang bermarkas di Atang Sendjaja.

Sebagian besar staf perawatannya mendapat pendidikan khusus di luar negeri. Ada yang lulusan kursus Royal Australian Air Force di Fairbairn Base, Australia, untuk pemeliharaan helikopter jenis Bell-204B. Ada yang belajar ke Helly Orient Pty., sebuah unit perawatan dan pemeliharaan heli dan pesawat di Singapura.

Pendidikan mutakhir juga didapat para staf dan teknisi dari Aerospatiale, perusahaan pembuat helikopter di Paris, Prancis. Pelatihan ini adalah paket dari pembelian sejumlah pesawat terbang dan helikopter—termasuk helikopter tipe SA-330J/L Puma—yang diproduksi negara itu, pada akhir 1970-an. ”Jadi, dari segi kualitas teknisi, tidak ada masalah,” kata Wahyudi.

Suku Cadang Asli Tapi Palsu

Meski sekilas ”aman-terkendali”, sumber Tempo di TNI punya cerita lain. Dia menegaskan bahwa pengadaan suku cadang pesawat di Landasan Udara Abdulrachman Saleh kerap bermasalah. Pemicunya adalah kenaikan harga suku cadang asli pesawat. ”Akhirnya, kita pesan suku cadang asli-palsu buatan Cina,” katanya. Hampir semua komponen pesawat, kata dia, punya versi tiruan yang harganya lebih murah.

Di Bogor, masalah serupa muncul pada awal 2000-an, ketika pabrik Aerospatiale berhenti memproduksi suku cadang dan mesin Puma SA-330. Otomatis, kerusakan sedikit saja bisa membuat heli TNI-AU di sana parkir selamanya. Para teknisi Atang Sendjaja pun terpaksa pijat kening mencari solusi yang realistis.

Pada 2003, proses ”kawin silang” antar-helikopter di Atang Sendjaja pun dimulai. Tiga mesin heli yang sudah tua dan tidak diproduksi lagi diganti dengan mesin baru dari helikopter Super Puma AS-332. Tak hanya ganti mesin, ”kawin silang” ini memodifikasi sistem penerbangan, alat bantu navigasi, sampai memperbarui persenjataan. Saat Tempo berniat melihat langsung fasilitas perawatan pesawat dan helikopter di sana, kepala penerangan lapangan udara itu, Mayor Sus M.I. Adam, melarang. ”Harus ada izin dari Markas Besar TNI,” katanya.


Cockpit C-130 Hercules. Dari 23 unit hanya 10 pesawat hercules yang laik terbang.

Komandan Pemeliharaan Material TNI Angkatan Udara Marsekal Muda Sumaryo H.W. mengakui dibutuhkan sedikitnya Rp 1,6 triliun untuk perbaikan semua pesawat Hercules TNI. Jumlah itu bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan ketersediaan dana perawatan Hercules saat ini yang hanya Rp 100 miliar. Akibatnya, dari total jumlah Hercules TNI saat ini sebanyak 23 unit, hanya 10 pesawat yang laik terbang. ”Sisa yang 10 ini pun tidak 100 persen laik,” katanya, akhir Mei lalu. Idealnya, menurut Sumaryo, biaya perawatan satu pesawat Hercules dianggarkan Rp 80 miliar.

Namun, bantahan datang dari Markas Besar. ”Masalah kecelakaan ini tidak ada kaitannya dengan anggaran,” sergah juru bicara Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen. Anggaran besar, kata dia, bukan jaminan tak ada kecelakaan. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso juga menolak tuduhan ada penyimpangan dalam pengadaan dan penggantian suku cadang peralatan TNI. ”Saat melakukan pemeliharaan, sebelum penggantian atau pengadaan suku cadang, selalu ada tim komisi untuk mengecek kesesuaian suku cadang,” kata Djoko, pekan lalu.

Anggaran TNI saat ini hanya Rp 33 triliun, dari pengajuan semula sebesar Rp 127 triliun. Sebanyak 70 persen dari dana itu digunakan untuk membayar gaji prajurit dan staf, dan baru sisanya untuk pembelian dan perawatan peralatan militer. Pengadaan peralatan baru jelas butuh biaya besar, sehingga dana untuk perawatan pun makin kecil. ”Beli satu pesawat Sukhoi saja sudah berapa duit itu?” kata Sagom Tamboen. Dengan anggaran yang tersedia sekarang, Sagom memperkirakan hanya seperempat pesawat dan helikopter TNI yang laik terbang.

Untuk menyiasati kondisi itu, pesawat yang ada diterbangkan bergiliran. ”Kami buat prioritas,” kata Sagom. Ini penting agar pesawat yang terlalu lama diparkir di hanggar tak berubah jadi besi tua. ”Jika tidak diterbangkan, bisa rusak semua,” katanya.

Sumber : MAJALAH TEMPO

KRI Slamet Riyadi Dikirim ke Ambalat



BALIKPAPAN - TNI AL menambah kekuatan untuk menjaga perbatasan Indonesia-Malaysia di Blok Ambalat. Senin (22/6), TNI AL bakal mengirimkan KRI Slamet Riyadi-352 yang kini bersandar di Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur, guna menggantikan KRI Makassar-590.

KRI Slamet Riyadi merupakan kapal perang kelas Perusak Kawal Rudal Kelas Ahmad Yani milik TNI AL, kapal ini merupakan kapal fregat bekas pakai AL Belanda (HMNLS Van Galen F802). Kapal ini telah ditingkatkan kemampuannya pada 1977-1980, termasuk diantaranya pemasangan sistem pertahanan udara, Mistral dan anti permukaan, Harpoon. Selain itu juga dilengkapi dengan torpedo Mk-46.

Kapal itu akan bergabung dengan sejumlah KRI serta kapal kepolisian air dan udara yang sedang berpatroli di Ambalat.

Pengiriman kapal untuk menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia jelang perundingan sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia Juli nanti. Kapal dipimpin Komandan KRI Slamet Riyadi, Letnan Kolonel Laut Taat Siswo Sunarto.

Sumber : METROTVNEWS

Senin, 15 Juni 2009

Propeller Bersirip, Tambah Kecepatan & Hemat Perawatan

SURABAYA - Dermaga Ujung, Perak, Rabu (10/6) pagi pekan lalu sedikit berbeda dengan biasanya. Puluhan anggota TNI-AL memadati salah satu sisi dermaga. Mata mereka tertuju ke satu titik di laut, sebuah kapal jenis landing craft vehicle and personnel (LCVP) yang tengah melaju cepat.

Kedatangan mereka memang untuk menyaksikan uji coba produk teknologi buatan anak negeri di bidang kapal perang. Yakni, penggunaan propeller bersirip yang dipasang di kapal pendaratan personel tersebut.

Ikut dalam uji coba itu beberapa pejabat TNI-AL. Di antaranya, Komandan Komando Pengembangan dan Pendidikan (Kobangdikal) TNI-AL Laksamana Muda TNI Sumartono dan Wakil Kepala Kobangdikal Brigjen TNI (Marinir) Arif Suherman.

Propeller atau baling-baling penggerak kapal itu ciptaan Kapten Bagus Arianto, anggota TNI-AL. ''Benar, hari ini saya diberi kesempatan mengadakan uji coba hasil tugas akhir kuliah saya yang menang kemarin (Mei lalu, Red),'' kata Kapten Bagus.

Dia menjelaskan, propeller adalah penggerak kapal yang biasa dipasang di bagian belakang bawah lambung kapal. Terbuat dari kuningan, tembaga, dan nikel. Fungsi utamanya sebagai alat penerus gaya dorong mesin kapal, yang menggunakan prinsip kerja dayung. ''Dayung itu bermacam-macam jenis dan ukurannya, disesuaikan dengan jenis dan ukuran kapal,'' katanya.

Menurut Bagus yang juga lulusan Politeknik Mesin ITS 1997 itu, propeller ciptaannya itu sebenarnya bukanlah barang yang benar-benar baru di dunia perkapalan. Yang membuat propeller tersebut berbeda dengan propeller biasa adalah penambahan teknologi sirip, mirip sirip ikan, di setiap baling-baling. ''Tambahkan bahan berbentuk mirip sirip ikan itu dapat menambah tenaga dayung kapal,'' katanya sambil menunjukkan contoh propeller ciptaannya.

Dengan propeller berisip tersebut, dipastikan kecepatan kapal bisa dioptimalkan. Dia mencontohkan kapal LCVP yang diuji coba itu. Dalam kondisi baru, kapal tersebut dapat melaju dengan kecepatan maksimal 12-13 knot. Namun, umumnya kapal sekoci perang itu buatan 1981, yang hanya mampu melaju dengan kecepatan 7-8 knot. ''Dengan mengganti baling-baling kapal tersebut (dengan propeller bersirip, Red), kapal pendarat pasukan itu dapat melaju dengan kecepatan 11 knot. Hampir menyamai kecepatan mesin baru,'' tuturnya.

Keberhasilan perwira 34 tahun itu mampu menghemat biaya perawatan kapal. ''Biaya perawatan kapal yang biasanya untuk mengganti mesin (dua mesin satu kapal, Red) seharga Rp 1,2 miliar dapat dihemat dengan cukup mengganti baling-baling seharga Rp 15 juta,'' katanya, lantas tersenyum.

Bagus menceritakan, ide membuat propeller bersirip itu berawal dari kegelisahannya melihat biaya operasional dan perawatan kapal perang milik TNI-AL yang minim.

Sebagai salah seorang atu anggota TNI-AL, perwira karir itu juga prihatin dengan kondisi kapal-kapal AL yang mayoritas sudah tidak lagi dalam kondisi seratus persen. ''Saya prihatin dengan keadaan mesin kapal yang sering saya tangani. Belum lagi jika harus mengganti mesin, pasti biayanya sangat besar,'' katanya.

Karena itu, pria yang bertugas sebagai kepala bagian mesin kapal itu ingin membuat produk yang mampu memacu kecepatan kapal, tanpa mengeluarkan biaya besar yang akan membebani anggaran negara.

Pria tegap itu mencoba mencari teknologi tersebut di internet. Memang, banyak teknologi yang bisa digunakan. Namun, umumnya memerlukan bahan baku dari luar negeri. ''Kalau begitu, kan sama saja kita bergantung kepada negara lain,'' ujar pria kelahiran Surabaya pada 1975 itu.

Akhirnya, dia menemukan teknologi terapan sederhana yang pernah dibuat dosen pembimbingnya di Poltek ITS. ''Ternyata teori teknologi propeller bersirip ini dulu pernah dicoba dosen saya. Jadi, mudah saya berkonsultasi dan mengembangkannya,'' katanya, lantas terenyum.

Karya tersebut digarap sebagai tugas akhir di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL). Untuk menyelesaikan tugas itu, Bagus membutuhkan waktu sebulan. Mulai bikin maket hingga menjadi produk siap pakai. Dia menghabisklan dana Rp 15 juta. ''Itu belum termasuk biaya uji coba. Meski habis banyak, saya puas karena produk ini berhasil selesai dan berguna,'' ujarnya.

Bagian paling sulit selama penelitiannya membuat baling-baling itu ialah mencari kapal sebagai alat uji coba. ''Banyak orang yang menyangsikan temuan ini berhasil. Sebab, jika terjadi apa-apa pada kapal yang akan diuji coba, taruhannya jabatan saya,'' katanya, lantas tertawa.

Bagus tidak menyerah. Dia berhasil meyakinkan atasannya untuk melakukan uji coba pada kapal LCVP yang ukurannya tidak terlalu besar. Sebelum itu, dia telah melakukan uji coba pada kapal contoh kecil buatannya, juga pada software komputer. ''Mungkin gara-gara itu saya diizinkan,'' ucapnya.

Propeller bersirip tersebut juga disertakan dalam Lomba Karya Cipta Teknologi (LKCT) Hari Pendidikan Angkatan Laut (Hardikal) pada 12 Mei lalu. Hasilnya, Bagus tampil sebagai juara. Dia menyisihkan 94 peserta lomba yang terdiri atas 34 anggota TNI-Polri dan 60 peserta dari sipil yang kebanyakan mahasiswa.

Kini Kapten Bagus diberi tugas khusus untuk memproduksi secara masal hasil karyanya tersebut. Dimulai membuat enam propeller bersirip untuk kapal patroli cepat (PC) buatan PT PAL Indonesia. ''Alhamdulillah, saya dapat mandat baru untuk mengembangkan hasil karya ini, semoga berguna untuk negara,'' katanya.

Sumber : JAWAPOS