JAKARTA - Mulai 2010, peremajaan pesawat angkut Hercules C-130 B yang dimiliki TNI AU akan dilakukan di dalam negeri. Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Subandrio mengatakan, sembilan pesawat asal AS milik TNI AU semuanya akan diremajakan.
Tahap pertama, telah ditandatangani kontrak empat pesawat. Dari jumlah tersebut, dua diremajakan di Singapura. Peningkatan kemampuan pesawat mencakup perbaikan badan pesawat, modifikasi avionic, dan modifikasi mesin.
"Pesawat pertama dimulai April 2009 mendatang," katanya di Jakarta, akhir pekan lalu (13/2). Saat ini, teknisi matra udara telah berada di Negeri Singa guna meningkatkan kemampuan dalam pemeliharaan dan perbaikan pesawat Hercules. Pasalnya, dua pesawat sisanya akan dilakukan di dalam negeri.
Perbaikan ini tidak lepas dari adanya kesepakatan TNI AU dengan Singapura agar dalam kontrak disyaratkan ketentuan transfer teknologi. "Dalam kontrak memang ada kesepakatan alih teknologi," kata KSAU. Dia memperkirakan, tahap pertama kelar akhir 2009. Peremajaan tahap di kedua dijadwalkan 2010.
"Kelima pesawat akan diperbaiki di dalam negeri," katanya berkomitmen. Depo Pemeliharaan 30, Malang akan meningkatkan kemampuan mesin. Sedangkan peningkatan kemampuan dilakukan di Depo Pemeliharaan 10, Bandung.
Dia menjelaskan, kebijakan ini diambil sebagai langkah menuju kemandirian industri pertahanan dalam negeri. "Selama bisa dilakukan sendiri, tidak perlu dari negara lain," kata Subandrio.
Sumber : JURNAS
KOMPAS/WISNU DEWABRATA / Kompas Images
Inilah salah satu dari dua unit kapal jenis landing platform dock 125 meter, yang dibangun di galangan pembuatan kapal milik PT PAL, Surabaya, Jawa Timur. Rencananya kapal pesanan dari Departemen Pertahanan untuk TNI Angkatan Laut itu selesai Mei 2009.
Kemandirian industri persenjataan? Hal itu bukan sesuatu yang tidak masuk akal untuk diwujudkan di Indonesia. Bahkan, sebetulnya kemandirian hanya perkara waktu dan pembiayaan belaka.
Dengan dana dan waktu yang memadai, terutama untuk bisa terus memproduksi serta memperbaiki kesalahan dan kekurangan produk sebelumnya, kemandirian peralatan utama sistem persenjataan (alutsista) adalah suatu keniscayaan di negeri ini.
Cuma masalahnya, kapan kita akan punya cukup biaya dan waktu untuk mewujudkan kemandirian itu? Boleh jadi pertanyaan itu masih pelik untuk bisa dijawab dalam waktu dekat. Apalagi, mengingat alokasi anggaran belanja pertahanan selama ini jauh di bawah 50 persen dari kebutuhan riil minimal.
Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat sejumlah industri strategis nasional berhenti melakukan sesuatu. Bahkan, walau masih banyak menemui berbagai kendala, beberapa industri strategis nasional setidaknya telah menghasilkan sejumlah produk alutsista yang dapat diandalkan.
Sebut saja PT PAL di Surabaya dan PT Pindad, khususnya Divisi Amunisi, yang berada di Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kedua industri strategis itu terbukti mampu menghasilkan sejumlah produk persenjataan yang dapat diandalkan.
Dalam paparannya di depan sejumlah wartawan, Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT PAL Sewoko Kartanegara menyatakan mendapat kepercayaan sejumlah negara, terutama dalam pembuatan kapal jenis niaga. Paparan itu digelar saat sejumlah wartawan berkunjung ke PT PAL dan PT Pindad atas undangan Departemen Pertahanan, akhir Oktober lalu.
Selama ini, menurut Sewoko, PT PAL sanggup membangun kapal angkut peti kemas berbobot mati 50.000 ton, sejumlah varian kapal tanker, kapal penumpang, dan kapal penangkap ikan. PT PAL juga mampu membangun galangan pengeboran minyak lepas pantai dan pembangkit listrik berkekuatan hingga 600 megawatt. Tidak hanya itu, PT PAL juga bergerak di bidang pemeliharaan dan perbaikan kapal, bahkan kapal perang dan kapal selam milik TNI Angkatan Laut (AL).
Pada divisi kapal perang, PT PAL juga membangun sejumlah kapal patroli cepat (fast patrol boat/FPB), mulai dari kapal dengan panjang 14 meter, 24 meter (lambung kayu), FPB 24 meter (lambung aluminium), FPB 28 meter (lambung kayu), dan FPB 34 meter lambung aluminium.
Kapal patroli cepat itu dibeli sejumlah instansi pemerintah, mulai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Polri, BP Migas, hingga BPPT, dan pesanan Departemen Pertahanan untuk keperluan TNI AL.
Untuk kepentingan TNI AL, PT PAL membangun 12 unit kapal FPB jenis 47 meter, baik tipe patroli, SAR, maupun kombatan (dipersenjatai). Dengan pengalaman itu, PT PAL sekarang membangun dua unit kapal jenis landing platform dock (LPD) dengan panjang 125 meter.
Dua unit kapal itu adalah bagian dari total empat unit kapal yang dipesan Pemerintah Indonesia (Departemen Pertahanan) ke galangan pembuatan kapal di Korea Selatan, yang kemudian disubkontrakkan kembali ke PT PAL. Rencananya, Mei 2009, satu unit kapal LPD 125 meter selesai dibangun di PT PAL.
Kapal LPD 125 meter itu dirancang sebagai kapal angkut personel dan juga tiga unit helikopter berukuran kecil. Kecepatan maksimum kapal itu mencapai 15 knot dan memiliki daya tahan (endurance) berlayar selama 30 hari.
Saat ini PT PAL juga tengah mengembangkan sejumlah persenjataan dan beberapa jenis kapal perang lain. Jenis inovasi itu seperti pengembangan pembangunan Kapal Perusak Kawal Rudal 105 meter.
Selain itu, PT PAL juga tengah mengembangkan kapal pengangkut helikopter dari kapal angkut sipil jenis STAR-50 Double Skin Bulk Carrier berbobot mati 50.000 ton (DWT), yang telah dibangunnya.
Inovasi lain yang patut dibanggakan, PT PAL saat ini juga tengah memodifikasi kendaraan tempur amfibi BTR-50P menjadi armoured floating vehicle. Jika semua jenis persenjataan itu dapat dibangun, dipastikan akan menghemat penggunaan anggaran pengadaan senjata lumayan besar.
Sayangnya, tambah Sewoko, bisa dibilang seluruh industri strategis dalam negeri yang ada, termasuk PT PAL, mengalami kekurangan modal kerja. Padahal, ketersediaan modal kerja itu sangatlah dibutuhkan untuk bisa berproduksi.
Sebenarnya diyakini masih ada sedikit peluang pengadaan modal kerja itu diperoleh dari alokasi pengadaan lewat mekanisme kredit ekspor. Namun, peluang itu masih terkendala masalah kebijakan keuangan yang ada.
Belum lagi persoalan masih ditambah dengan minimnya daya beli TNI sebagai pengguna akhir (end user) produk mereka, yang juga mengalami keterbatasan anggaran akibat minimnya alokasi belanja pertahanan pemerintah.
Akibatnya tidak heran proyek besar, seperti Korvet Nasional, yang sudah dicanangkan sejak tahun 2004, tidak kunjung terealisasi. Padahal, PT PAL secara teknologi dan sumber daya manusia terbilang punya pengalaman dan kemampuan.
Meski begitu, proyek bergengsi macam itu tetap membutuhkan dukungan dana yang memadai, termasuk komitmen kebijakan yang berkelanjutan dari pemerintah, siapa pun yang terpilih dalam pemilu mendatang.
Dikemas ulang
Kondisi kurang lebih serupa juga dialami PT Pindad Divisi Munisi, Turen, Malang, walau produsen amunisi berbagai kaliber dan bahan peledak itu sebenarnya memiliki kemampuan, bahkan untuk membuat bom pesawat tempur F-16.
Bom itu merupakan salah satu hasil kerja sama antara PT Pindad dengan Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI Angkatan Udara (AU). Namun, sayangnya pemesanan bom itu masih terkendala minimnya anggaran yang dimiliki TNI AU.
Padahal, untuk level Asia Tenggara saja, amunisi buatan PT Pindad (Persero) diakui dan dipesan Thailand, Filipina, Timor Leste, dan Singapura, walau untuk negara terakhir peluru yang dipesan dikemas ulang untuk dijual kembali.
Pesanan dari negara tetangga itu, menurut Kepala Divisi Amunisi PT Pindad Walujo, berjalan setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Setiap tahun PT Pindad Divisi Amunisi mampu memproduksi sedikitnya 100 juta butir peluru berbagai kaliber dan bahan peledak, termasuk untuk kebutuhan pasukan khusus TNI.
”Namun, sayangnya, bahan baku mesiu dan propelan masih harus diimpor dari China, Korea, dan Belgia. Harapan kami, Indonesia mempunyai pabrik sendiri untuk memproduksi mesiu dan propelan sehingga PT Pindad bisa jauh lebih mandiri,” ujar Walujo.
Selain amunisi dan bahan peledak, PT Pindad juga mampu memenuhi kebutuhan persenjataan personel, mulai dari senjata jenis SS-1 dan SS-2, senjata personel kaliber besar, hingga membangun berbagai kendaraan tempur, termasuk armoured personnel vehicle.
Jika melihat berbagai kendala yang ada dan telah disebutkan tadi, sepertinya lengkap sudah kendala yang masih terus dihadapi hampir semua industri strategis nasional. Mulai dari kendala yang bermuara pada persoalan anggaran hingga kendala teknis macam penyediaan bahan baku.
Meski begitu, diharapkan berbagai kendala itu tidak lantas menyurutkan langkah serta tekad untuk melakukan berbagai inovasi, seperti selama ini telah dibuktikan sejumlah industri strategis yang ada.
Sekarang, tinggal bagaimana komitmen pemerintah untuk menangani sejumlah persoalan itu. Jangan sampai anjuran untuk mencintai produk dalam negeri sekadar menjadi slogan kosong tak terbukti. Toh, dengan kemandirian, berbagai keuntungan dapat diraih.
Selain bisa memproduksi persenjataan sesuai kebutuhan, meningkatkan gengsi dan efek pencegahan (deterrent effect) Indonesia di mata negara lain, produk senjata dalam negeri pasti jauh lebih murah, ketersediaan suku cadang terjamin, dan yang lebih penting, bebas embargo.(Sumber)