Minggu, 07 Desember 2008

TNI AU :Mencari Pengganti Si "Kuda Liar"



Oleh : B Josie Susilo Hardianto

Meskipun ada banyak pilihan, nyatanya tidak mudah mencari pengganti pesawat tempur taktis milik TNI Angkatan Udara, OV-10 Bronco, yang makin uzur usianya.

Lebih dari 30 tahun masa pengabdian pesawat tempur yang bertugas pada jajaran Skuadron 21 itu diisi dengan sejarah mengagumkan. Sebagai pesawat yang mampu mengemban berbagai misi, OV-10 telah membuktikan keandalannya dalam berbagai operasi tempur di Indonesia, seperti Operasi Seroja tahun 1976 hingga operasi militer di Aceh tahun 2003.

Didatangkan pertama kali pada Oktober 1976, pesawat buatan Rockwell International Amerika Serikat ini awalnya menempati Skuadron Udara 3 Wing Operasi 002, sarang para pesawat tempur taktis. Sejak awal dipilih, OV-10 Bronco memang diarahkan sebagai salah satu pendukung kemampuan tempur udara taktis menggantikan tugas pesawat tempur yang sebelumnya telah dimiliki oleh TNI Angkatan Udara, P-51 Mustang (Perjalanan TNI Angkatan Udara dan Pengembangannya Para Awal Dasawarsa 80-an, Mabes TNI AU, Dinas Penerangan, 1982).

Sebagai bagian dari perwujudan pembangunan kekuatan kembali TNI Angkatan Udara dalam Rencana Strategis I, OV-10 Bronco merupakan bentuk nyata dari pembentukan unit tempur kecil yang efektif. Pembentukan itu merupakan salah satu dari lima pokok kebijakan pimpinan TNI Angkatan Udara kala itu.

Renstra I

Dalam uraian pembentukan unit tempur kecil itu disebutkan, sesuai kemampuan negara dan tingkat ancaman yang dihadapi, rencana pembangunan TNI Angkatan Udara dalam dasawarsa 70-an didasarkan pada penentuan prioritas berdasarkan opportunity cost, yaitu mengarahkan pembangunan kekuatannya pada kemampuan angkutan udara dan kemampuan tempur terbatas.

Lebih jauh, untuk menghadapi kemungkinan ancaman yang ada diperlukan kemampuan tempur udara taktis dan strategis secara terbatas, kemampuan intai dan pemotretan udara serta patroli udara.

Tidak salah bila OV-10 menjadi pilihan. Pesawat yang terbang pertama kali pada 16 Juli 1965 itu memang dirancang sebagai pesawat yang berkemampuan mengemban misi beragam mulai dari pesawat tempur, pengintai, patroli, hingga evakuasi.

Digunakan pertama kali oleh Angkatan Udara dan Korps Marinir Amerika, keampuhan itu telah teruji di medan perang Vietnam. Meskipun memiliki kapabilitas dengan dengan misi utama Counter Insurgency (COIN), pesawat itu pun mampu memainkan peran sebagai pesawat yang mampu menggelar perang psikologis dengan cara menyebar pamflet dari udara.

Pesawat yang didorong dua mesin turboprop T76-G-412 itu mampu terbang dengan kecepatan hingga 452 kilometer per jam dalam radius 376 kilometer dan mampu lepas landas dari landasan perintis di dalam hutan. Dalam situs Wikipedia disebutkan, OV-10 yang digunakan oleh delapan negara, termasuk Indonesia itu, merupakan pesawat tempur yang memiliki performa seperti helikopter serbu berat sekaligus pesawat tempur andal.

Ia memiliki kecepatan melebihi helikopter tetapi lebih lambat daripada jet tempur. Kelebihan itu menyebabkan sebagai pesawat tempur ringan bersayap tetap OV-10 mampu bermanuver jauh lebih baik dibandingkan dengan helikopter dan jet pada kecepatan rendah. "Handling-nya bagus," ungkap mantan penerbang uji TNI Angkatan Udara Marsekal Muda (Purn) F Djoko Poerwoko.

Selain itu, OV-10 yang mampu membawa aneka persenjataan seperti roket, bom, dan senapan mesin ringan kaliber 7.62 milimeter (senapan otomatis OV-10 Bronco milik TNI Angkatan Udara diganti dengan senapan mesin berat Browning kaliber 12.7 milimeter) juga memiliki kemampuan membawa enam penerjun, evakuasi medis dan pada masa damai pesawat itu dapat difungsikan untuk survei geologi, pemetaan udara, penyemprotan, serta patroli.

Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsekal Muda Gandjar Wiranegara mengemukakan, kelincahan dan kapabilitas OV-10 yang tangguh di berbagai misi itulah yang menyebabkannya dijuluki si kuda liar.

"Kita dapat segera berbalik arah dalam kecepatan rendah ketika melihat gerilyawan muncul dari hutan yang ada di belakang pesawat," kata dia.

Untuk Indonesia, dengan kondisi geografis dan ancaman yang ada kemampuan itu sangat cocok. Oleh karena itu, ketika usia OV-10 makin menua dan harus segera pensiun tidak mudah untuk menemukan penggantinya.

Pilihan pengganti

Di tengah keterbatasan dana yang dimiliki, ada beberapa pesawat yang dilirik sebagai pilihan, yaitu EMB-314 Super Tucano buatan Embraer Brasil, KO-1 dari Korea Aerospace Industries, Su-25 dari Rusia serta L-159 ALCA keluaran Aero Vodochody Czech. Dua pesawat pertama, yaitu Super Tucano dan KO-1, merupakan pesawat tempur ringan berbaling-baling, sedangkan dua lainnya, L-159 dan Su-25, merupakan pesawat tempur ringan bermesin jet.



Meskipun demikian, keempat pesawat itu mengusung berbagai piranti canggih khas pesawat tempur modern. Super Tucano dan KO-1, misalnya, selain dilengkapi dengan head up display (HUD), kinerja pilot juga dibantu dengan sistem kontrol hands on throttle and stick (HOTAS). Selain itu, menurut Gandjar Wiranegara, meskipun menggunakan mesin turboprop, Super Tucano tidak ribut. "Kabinnya senyap hingga kita seolah ada dalam pesawat jet," tuturnya.

Gandjar yang sempat merasakan terbang dengan Super Tucano mengemukakan, seperti OV-10 Bronco, pesawat bermesin PT6A-68A buatan Pratt and Whitney Kanada itu mampu bermanuver lincah pada kecepatan rendah. Sasaran di darat dapat terlihat jelas dari kokpit pesawat hingga seolah tampak berhadapan. Pesawat itu pun mampu mengemban misi terbang malam karena dilengkapi dengan kacamata pengindra malam generasi ketiga serta dimungkinkan dilengkapi dengan forward looking infrared (FLIR) yang tampilannya dapat dilihat pada color multifunction displays (CMFD).

Kemampuan yang tidak kalah jauh juga dimiliki oleh KO-1 buatan Korea. Tentang pesawat itu penerbang dan teknisi Angkatan Udara tentu telah memiliki banyak pengalaman karena pesawat tersebut merupakan pengembangan dari pesawat KT-1 Wong Bee yang saat ini telah digunakan sebagai pesawat latih bagi karbol TNI Angkatan Udara.

Jika Indonesia dalam pemilihan pesawat pengganti masih berorientasi pada fungsi antigerilyawan, maka Super Tucano merupakan pilihan yang tepat. Selain itu, seperti layaknya pesawat tempur taktis dengan bermesin turboprop, Super Tucano mudah terbang dan mendarat pada landasan pacu pendek serta lapangan terbang perintis. Dibandingkan dengan pesawat jet, tentu saja proses penyiapannya pun jauh lebih cepat dan mudah.

Tidak hanya itu, dengan berbagai piranti canggih yang diusungnya serta kemampuan tempur yang dimilikinya, Super Tucano, tutur Gandjar, dapat difungsikan sebagai pesawat transisi bagi penerbang tempur sebelum terbang dengan pesawat bermesin jet.

Namun, jika orientasi pertahanan udara Indonesia nantinya lebih membutuhkan dukungan pesawat penyergap, tentu saja Super Tucano harus disisihkan dan pesawat tempur ringan seperti L-159 atau Su-25 menjadi pilihan. Gandjar mengemukakan, terkait hal itu, pemerintahlah yang memiliki wewenang menentukan.

Penentuan

TNI Angkatan Udara hanya memberi catatan dan masukan dan pilihan akhir tergantung dari pemerintah. Dihubungi terpisah, pengamat penerbangan nasional, Dudi Sudibyo, mengemukakan, pemerintah memang menjadi penentu akhir apa yang hendak dipilih menggantikan OV-10. Namun, pilihan itu sebaiknya sungguh-sungguh memerhatikan kebutuhan dan konsep yang memang telah dirancang.



Ia mengingatkan, agar berbagai faktor x, seperti penggunaan rekanan dalam pengadaan sistem senjata, diminimalkan. Alasannya, dapat saja hanya karena kepentingan keuntungan segelintir orang proses penguatan pertahanan dan pemilihan terhadap senjata yang tepat dapat bergeser bahkan diabaikan. "Dulu hal ini sering terjadi," ungkapnya.

Untuk itu, ia berpendapat, berbagai hal substansial, seperti pesawat apa yang sesungguhnya dibutuhkan, apakah untuk latih, latih mula atau lanjut atau misi khusus, harusnya ditetapkan dengan jelas sesuai dengan design pertahanan dan orientasi jangka panjang TNI Angkatan Udara.

Selain itu, ia juga mengungkapkan, setelah dibeli, dukungan suku cadang dan perawatan haruslah memadai. Gandjar Wiranegara mengemukakan, banyaknya negara pengguna dan keterusberlangsungan sebuah pabrikan juga menjadi salah satu hal yang patut dicermati. Hal itu penting agar pesawat-pesawat yang telah dibeli tetap terjamin keandalan dan kelaikannya.

OV-10 Bronco telah menunjukkan kinerjanya yang andal. Hari-hari ini, si kuda liar yang makin uzur itu menanti pengganti yang tak kalah andal. Meski dililit persoalan minimnya dana, tentu saja pemerintah tidak boleh berlama-lama membuat keputusan karena para penerbang yang dulu mengawaki OV-10 membutuhkan tunggangan baru untuk terus menjaga performa mereka. Selain itu, Indonesia pun membutuhkan penjaga-penjaga udara yang andal setelah ditinggal oleh sang kuda liar, OV-10 Bronco.

Sumber : KOMPAS

Tidak ada komentar: